“Bersama Kita Bisa.”
Itulah semboyan yang menjadi perekat antar pengurus, motivator, dan anggota FoRLa-Alor selama 7 tahun organisasi ini berjalan. Pada tanggal 5-6 November 2014 lalu, enam motivator berkumpul di sebuah bangunan milik Pemda Alor. Terletak di Jalan Hasanudin Kelurahan Binongko, Kecamatan Teluk Mutiara, Kabupaten Alor – NTT, bangunan ini dijadikan Kantor FoRLa, atau akrab disebut Rumah FoRLa, sejak tahun 2007.
Keenam motivator ini adalah Nikanor Bana dari Desa Alaang; Muhamad S. Leky dari Desa Kayang; Yesmias Pantele dari Desa Pante Deere; Syarifudin Jou dari Pulau Lapang; Darsono Saly dari Desa Bana; dan Selfianus B. Sirah dari Desa Kalondama Barat. Mereka berkumpul dengan tujuan yang sama; mengikuti Pelatihan Better Management Practices (BMP) Budi Daya Rumput Laut Kotoni, Sacol, dan Spinosum oleh WWF-Indonesia dan Sekretaris FoRLa-Alor, Helmy Janne Maro.
Hari pertama pelatihan, Nona Emy, panggilan akrab Sang Sekretaris, berkolaborasi dengan Ketua FoRLa, Pelipus Laka, yang biasa dipanggil Bapak Ipu, mensosialisasikan kembali program kerjasama WWF-Indonesia dengan FoRLa. Sebuah kerjasama untuk penguatan kelembagaan dan perbaikan praktik budi daya rumput laut. Keduanya menjabarkan program kerja selama 10 bulan mendatang, termasuk peran dan tanggung jawab motivator.
Selesai dengan penjabaran program kerja, Nona Emy memberikan garis besar gambaran isi BMP yang digunakan sebagai dasar implementasi perbaikan budi daya rumput laut. Penjelasan diakhiri dengan diskusi apakah program tersebut bisa diimplementasikan di desa-desa binaan, dan kemungkinan kendala pendampingan BMP.
Desa Bana dengan sembilan kelompok pembudidaya, seperti yang juga ditegaskan oleh Bapak Nika, siap melaksanakan program tersebut. Agar program berjalan lancar, beliau meminta pelatihan untuk BMP didampingi tak hanya oleh motivator, tetapi juga dari WWF-ID sebagai pihak pengurus, atau pihak ahli.
Berbeda dengan Desa Bana, Bapak Selfi menjelaskan bahwa implementasi BMP di Desa Mobobaa tidak memungkinkan diterapkan kepada kelompok, karena budaya berkelompok tidak ada di Desa Mobobaa. Pendekatan penerapan BMP lebih sesuai jika diterapkan per individu pembudidaya. Bapak Selfi memiliki trik agar BMP mudah diterima masyarakat. Caranya, mensosialisasikan BMP dan menggelar pelatihan pada waktu istirahat di lokasi budi daya.
Sementara itu, Desa Mobobaa terkendala banyaknya kapal dari Makassar yang membeli rumput laut tanpa mempertimbangkan standar kualitas. Pembeli-pembeli ini juga melakukan permainan harga. Tak hanya Desa Mobobaa, Desa Kayang, Pulau Lapang dan Desa Bana pun mengalami masalah yang sama.
Pertemuan hari pertama ditutup dengan pembekalan para motivator dengan Buku BMP. Para motivator diberi kesempatan untuk mempelajari BMP sebelum dijelaskan secara detail oleh perwakilan WWF-Indonesia keesokan harinya.
Hari Kamis, 6 November 2014, agenda pelatihan BMP yang direncanakan mulai pada jam 08.00 WITA, terpaksa mundur dua jam karena padamnya listrik. Meski terlambat, setiap bab dalam BMP berhasil dibahas detail. Seperti biasa, diskusi dan sesi tanya jawab pun dilangsungkan setelah sesi pembahasan.
Motivator di lapangan tidak hanya berperan sebagai penyuluh tetapi mereka juga sebagai pelaku usaha budi daya rumput laut. Hal-hal yang mereka tanyakan tidak hanya masalah penguatan kelompok, tetapi juga masalah teknis budi daya.
Tak cukup sampai pembahasan BMP, agenda dilanjutkan dengan menyusun jadwal aksi pertama, yaitu Sosialisasi BMP kepada para pembudidaya di lokasi masing-masing. Para motivator juga menyusun apa saja yang diperlukan dalam sosialisasi tersebut termasuk media sosialisasi seperti banner untuk membantu mereka menjelaskan kepada pembudidaya.Semangat kolaborasi untuk meningkatkan kualitas rumput laut di Alor tampak dari diteriakkannya semboyan “Bersama Kita Bisa” di akhir acara, sebagai penutup pelatihan BMP dua hari itu.