Oleh Windy Rizki dan Novita Eka Syaputri / WWF-Indonesia
Kerang-kerangan adalah sumber protein hewani alternatif yang banyak ditemukan di Indonesia dan cukup terjangkau dibanding ikan laut. Namun sayangnya ada berbagai stigma negatif yang membayangi, terutama isu kandungan logam berat. Komoditas ini mendapat “cap negatif” karena cara hidupnya yang mendapatkan makanan dengan cara menyaring (filter feeder) layaknya vacuum cleaner. Maksudnya, kerang tak hanya menyerap makanannya (plankton), tapi juga apa saja yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, jika perairan tempatnya hidup merupakan perairan yang tercemar dengan kontaminasi limbah dan logam berat, maka kandungan tersebut juga akan terserap oleh kerang ke dalam tubuhnya. Hal ini menjadi berbahaya jika kerang tersebut dikonsumsi oleh manusia.
Namun dibalik label negatif tersebut sebenarnya banyak perairan di Indonesia yang memiliki potensi kerang yang cukup besar, salah satunya di sekitar Pantai Kenjeran, Surabaya dan Sedati, Sidoarjo. Menyadari besarnya potensi komoditas kerang di pantai utara Jawa Timur, WWF-Indonesia dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), sebagai salah satu anggota JARING-Nusantara, mendampingi masyarakat nelayan di pesisir Pantai Kenjeran dan Sedati untuk melakukan praktik penangkapan dan pengolahan kerang yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab. Tim WWF-Indonesia bersama Eka Dian Savitri, perwakilan dari KPI Wilayah Jawa Timur, beberapa waktu lalu berkunjung ke Kenjeran dan Sedati untuk melihat langsung cara penangkapan dan pengolahan kerang yang ramah lingkungan tersebut.
Nelayan di Sedati menggunakan alat garit dan racking, sedangkan nelayan di Kenjeran menangkap kerang dengan handpicking. Namun di Sedati masih banyak ditemui nelayan yang menggunakan alat garuk dengan mata jaring yang tidak selektif serta dioperasikan di daerah berterumbu karang. Menurut keterangan nelayan sekitar, nelayan-nelayan yang menggunakan alat garuk dengan jaring tersebut merupakan nelayan pendatang. Jika penggunaan alat tangkap yang tidak selektif terus dibiarkan dapat menurunkan produktivitas kerang karena berpotensi menangkap kerang yang masih remaja. WWF-Indonesia melalui JARING-Nusantara dan KPI pun terus melakukan pembinaan terhadap nelayan untuk menggunakan metode penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan, yaitu handpicking.
Di Kenjeran, kerang-kerang yang ditangkap diolah lebih lanjut menjadi dendeng, abon, kerupuk, hingga nugget kerang. Siti Chotimah, seorang aktivis dan fasilitator lokal KPI di Jawa Timur lah yang menggerakkan ibu-ibu di sekitar untuk mengolah kerang agar nilai jualnya semakin tinggi. Menurut K. Tri Pursetyo, salah seorang peneliti kerang-kerangan Universitas Airlangga, kandungan logam berat kerang-kerangan dari perairan ini masih di bawah ambang batas dan cukup aman untuk dikonsumsi dan masih bisa dikurangi lagi dengan beberapa cara, seperti membuang kotoran kerang kemudian kerang dicuci dan direndam dalam air yang dicampur dengan air jenuk nipis atau belimbing wuluh, atau bisa juga dengan merendamnya dengan air laut / air dengan salinitas yang sama selama 1 – 5 jam.
Dengan menjaga ekosistem laut serta memerhatikan cara penangkapan dan pengolahan kerang, kita tidak perlu lagi takut mengkonsumsi kerang, tentu saja dalam jumlah yang tidak berlebihan. Hal ini telah coba dilakukan oleh nelayan-nelayan binaan JARING-Nusantara dan KPI di Sedati dan Kenjeran. Diharapkan akan ada lebih banyak nelayan dan pelaku industri yang menerapkan praktik penangkapan dan pengolahan kerang yang ramah lingkungan. Tentunya juga dibutuhkan peran banyak pihak untuk menjaga kelestarian ekosistem laut agar tidak tercemar.