Salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi dan berkontribusi besar terhadap perekonomian masyarakat adalah krustasea – seperti udang, lobster, kepiting, dan rajungan. Nilai ekonomi yang dihasilkan dari komoditas perikanan ini pada tahun 2010-2014 mencapai 6,8 triliun, atau 5.98 % dari total GDP Indonesia dari sektor perikanan tangkap di tahun 2014. Bahkan, rajungan merupakan komoditas andalan ekspor ke Ameriska (56 %) dan Jepang (26 %).
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomer 47 Tahun 2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa potensi untuk sumber daya udang penaeid, lobster, kepiting, dan rajungan sudah mencapai status pemanfaatan berlebih. Status ini disebabkan oleh tingkat upaya penangkapan yang tinggi, dimana tidak diimbangi dengan pengaturan pemanfaatan yang memperhatikan karakter biologi dari sumber daya tersebut. Selain itu, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, illegal fishing, dan penurunan fungsi ekosistem juga memberikan pengaruh pada penurunan stok sumber daya krustasea di alam.
“Dengan stok perikanan krustasea yang 95 % berada dalam kondisi pemanfaatan penuh (fully exploited) hingga pemanfaatan berlebih (over exploited), maka Indonesia membutuhkan strategi dan inovasi untuk mengembalikan status stok ini agar dapat mendukung kesejahteraan nelayan Indonesia dan memastikan kesehatan ekosistem,” ujar Abdullah Habibi, Aquaculture & Fisheries Improvement Manager WWF-Indonesia, dalam paparannnya pada Simposium Nasional Krustasea 2017 yang diselenggarakan 15-16 Mei lalu.
Dalam diskusi yang berlangsung selama kegiatan simposium, ditemukan beberapa hal penting yang cukup menjadi perhatian untuk pemanfaatan sumber daya krustasea di Indonesia, diantaranya daerah penangkapan krustasea di alam semakin jauh, ukuran krustasea yang tertangkap semakin kecil, modifikasi alat tangkap krustasea menjadi alat tangkap yang banyak menangkap krustasea berukuran kecil (fase anakan), dan komposisi hasil tangkapan krustasea yang didominasi oleh krustasea yang sedang masuk fase bereproduksi. Beberapa rekomendasi terkait tata kelola pemanfaatan krustasea juga menjadi catatan penting dari simposium ini, diantaranya aturan pengendalian penangkapan, pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem serta pengelolaan dengan pendekatan bioekonomi perikanan.
WWF-Indonesia bekerja sama dengan Pusat Riset Perikanan (Pusriskan), Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan Perikanan (BRSDM KP), Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas kajiskan), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Yayasan TAKA telah melakasanakan Simposium Nasional Krustasea 2017 dan menghimpun hasil penelitan dan kajian ilmiah terbaru serta merumuskan kebijakan dan pengelolaan untuk perikanan krustasea berkelanjutan di Indonesia.
“Perikanan krustasea telah menunjukkan kontribusinya dalam modernisasi perikanan di Indonesia baik dampak positif terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja, dan juga dampak negatif terhadap kebijakan pemerintah. Untuk menuju pengelolaan perikanan krustasea yang berkelanjutan harus berdasarkan dasar hukum yang berlaku,” jelas Dr. Ir. Toni Ruchimat, MSc, Kepala Pusat Riset Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan.
M. Zulfikar Mochtar, ST, MSc, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) juga menuturkan bahwa “Pengelolaan perikanan berkelanjutan tidak mudah dilakukan, tapi juga tidak susah. Dalam pelaksanaannya harus ada aktivitas tarik-menarik antara tiga poin utama, yaitu ekonomi yang optimal, ekologi yang dikelola secara lestari dan hubungan sosial untuk kesejahteraan masyarakat. Ketiga poin tersebut harus bersinergi mencapai keseimbangan.”
Dengan melihat kondisi tersebut, Tim Perumus telah membentuk berbagai strategi untuk pengelolaan perikanan krustasea berkelanjutan, seperti 1) mengkaji status stok krustasea; 2) melakukan pemantauan dan evaluasi implementasi hasil pengkajian stok krustasea dan penerapannya dalam pengelolaan krustasea; 3) melengkapi Rencana Pengelolaan Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan yang sudah ada sesuai dengan UU No. 31 Tahun 2004 Pasal 7; 4) melakukan pengenalan, pengembangan dan implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management/EAFM); 5) melakukan pengembangan riset aplikasi sertifikasi ekolabel dalam penilaian status stok, dampak terhadap perikanan dan lingkungan, dan kriteria sistem pengelolaan perikanan dan krustasea, serta; 6) menguatkan kelembagaan pengelolaan perikanan krustasea skala kecil untuk mengatasi permasalahan tata kelola perikanan khususnya rajungan, kepiting bakau, dan lobster.
Karya tulis ilmiah yang terhimpun di Simposium Nasional Krustasea 2017 akan disusun ke dalam jurnal dan prosiding yang dapat digunakan oleh pengelola perikanan sebagai acuan ilmiah dalam menetapkan kebijakan untuk pengelolaan perikanan krustasea yang lebih baik. Harapannya, setelah terhimpunnya informasi aktual dari Simposium Nasional Krustasea 2017, sistem tata kelola sumber daya krustasea dapat diperbaiki hingga tercapainya pemanfaatan perikanan krustasea yang berkelanjutan di Indonesia.
Untuk mengunduh materi presentasi Simposium Nasional Krustasea 2017, kunjungi http://www.eafm-indonesia.net/berita/detail/materi-pembicara-simnas-krustasea-2017.