Ekosistem pesisir yang semakin terjaga serta bertambahnya pengetahuan untuk memilih ikan yang baik dan berkelanjutan merupakan manfaat yang dirasakan oleh Fauzan (26 Tahun), nelayan dan pengumpul ikan karang di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, setelah mengikuti program perbaikan perikanan.
Aktivitas yang sudah dilakukan oleh Fauzan dan para nelayan bersama Jaring KuALA saat ini bisa dilihat dari bentuk kegiatan pencatatan ikan saat mendarat, menghentikan aktivitas penangkapan dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan selektif terhadap ikan yang ditangkap, terutama ikan karang yang berukuran tertentu. Seperti, 700 gram untuk ikan ketamba dan kerapu, dan 500 gram untuk ikan baronang.
Selama 5 tahun menjadi nelayan pengguna pancing ulur, Fauzan tergabung dalam kelompok nelayan Teupin Ujung Pancu Lhok Peukan Bada. Anggota kelompok yang berjumlah total 40 orang ini rata-rata menggunakan kapal tradisional berukuran <5 GT. Kapal ini dikenal dengan nama tep-tep dalam bahasa Aceh atau sejenis kapal fiber berukuran kecil.
Peta KKPD Sementara © Tim Fasilitasi KKPD Aceh Besar
Dalam aktivitasnya, program perbaikan perikanan ini dibagi menjadi dua kegiatan, yaitu kegiatan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) dengan nama kawasan Suaka Alam Perairan (SAP) Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar dan kegiatan FisheriesImprovement Program (FIP) atau program perbaikan perikanan. Walaupun Fauzan dan nelayan lainnya sudah merasakan manfaat dari adanya dua program tersebut, namun mereka masih dihadapkan pada tantangan untuk memasarkan hasil tangkapan dengan harga yang stabil.
Program Perbaikan Perikanan Bersama Jaringan KuALA di Aceh
Nelayan yang beraktivitas di pesisir dan laut Aceh berasal dari Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, yaitu Belawan dan Sibolga. Awalnya, aktivitas penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Besar masih menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti menggunakan bom, bius, alat bantu kompresor, dan beberapa alat tangkap lainnya yang tidak selektif (trawl dan jaring/pukat dengan ukuran mata yang sangat kecil).
Karena itu, Jaring KuALA di bawah koordinasi Sekretariat KuALA yang melibatkan beberapa anggota KuALA Aceh, yaitu WCS Marine Program Aceh, Yayasan Lamjabat, Ocean Diving Club (ODC) Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala serta Jaringan di nasional, seperti Jaringan Perikanan Bertanggung Jawab Nusantara (JarNus) dan WWF- Indonesia melakukan program perbaikan perikanan melalui kegiatan SAP Pesisir Barat dan FIP.
Kegiatan pembentukan kawasan SAP Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar dikoordinir oleh Tim Fasilitasi Pembentukan KKPD Kabupaten Aceh Besar yang dibantu oleh beberapa anggota KuALA tersebut. Evaluasi usulan inisiatif kawasan, identifikasi dan inventarisasi potensi kawasan, pencadangan kawasan, membentuk lembaga pengelola kawasan dan menyusun rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi, menjadi aktivitas yang dilakukan dalam program perbaikan perikanan.
© Yayasan Lamjabat
Program pengawasan SAP Pesisir Barat Kabuaten Aceh Besar berbasis adat sudah mulai dilaksanakan. Kerangka kerja berbasis resiko (RiskBased Framework) atau RBF pun sudah disusun melalui proses konsultasi dengan Anthony Sisco Panggabean, tenaga ahli dari Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL), Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zaman, Muara Baru, Jakarta. RBF disusun untuk mengetahui bentuk pengelolaan perikanan ikan karang yang tepat pada lokasi kelompok berada. Melalui metode ini, tingkat keterancaman spesies baik target atau spesiesl non-target yang terdampak dan berada dalam satu ekosistem dapat diketahui. Selain itu, dampak aktifitas perikanan terhadap ekosistem misalnya terumbu karang dapat diketahui dan dimitigasi melalui rekomendasi-rekomendasi yang muncul dari hasil analisis. Salah satu rekomendasi yang muncul dari analisis RBF ini adalah pengaturan kuota (jumlah tangkapan yang diperbolehkan/ JTB) penangkapan oleh nelayan per tahunnya untuk mengurangi overfishing. Penetapan nilai JTB sendiri memerlukan hasil analisis lebih mendalam menggunakan metode harvest strategy yang rencananya akan dilaksanakan pada tahun ini. Rekomendasi-rekomendasi tersebut selanjutnya akan didiskusikan bersama para stakeholder terkait dalam forum workshop sebagai tindak lanjutnya. Semua program diatur atas pengawasan Lembaga Hukum Adat Panglima Laot Lhok di Kabupaten Aceh Besar yang mengimplementasikan aturan adat Laot setempat.
© Yayasan Lamjabat
Aktivitas ini akan terus dilakukan dengan mengimplementasikan program yang terdapat dalam Rencana Pengelolaan dan Zonasi SAP Pesisir Barat serta Peraturan Pengelolaan Spesies Ikan Karang yang meliputi pengaturan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, penetapan ukuran tangkap ikan, dan penetapan kuota penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Besar. Selain itu, skema bisnis yang baik sedang dikembangkan bersama dengan Fish n’ Blues sebagai retailer produk seafood ramah lingkungan pertama di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam upaya memfasilitasi nelayan memasarkan produk ikan karang sebagai kompensasi atau insentif bagi mereka yang menjaga kawasannya sendiri untuk keberlanjutan perikanan di masa yang akan datang.
Oleh : Marzuky (Leader Jaring KuALA, Sekjen Jaring Nusantara), Windy Rizki (Capture Fisheries Officer, WWF-Indonesia), dan Achmad Mustofa (National Coordinator for Capture Fisheries, WWF-Indonesia)