Articles

Simposium Nasional Akan Kaji Pengelolaan Perikanan Karang Berkelanjutan di Indonesia

    Read 215 times berita

Penulis: Muhammad Yusuf (Fisheries Science and Training Coordinator)


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui satuan kerja COREMAP-CTI (Coral reef rehabilitation and management program – Coral triangle initiative) Ditjen Perikanan Tangkap, bekerjasama dengan WWF-Indonesia untuk menyelenggarakan Simposium Nasional Perikanan Karang Berkelanjutan di Denpasar Bali pada tanggal 25-26 November 2015 mendatang.

Dalam rangka mendapatkan kajian-kajian terbaru, simposium nasional ini akan mempertemukan para expert (ahli) dan praktisi perikanan karang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan hasil penelitain dan kajian terbaru, serta mendiskusikan dan mencari solusi ilmiah terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi pengelolaan perikanan karang Indonesia. Ajang tingkat nasional ini akan mengangkat tiga tema pembahasan, yaitu Biologi, populasi, dan ekologi ikan karang; Praktik Pemanfaatan Ramah Lingkungan dan Aspek Sosial Ekonomi; serta Regulasi, Kelembagaan, dan Pengelolaan Berkelanjutan.

Kegiatan ini mengundang akademisi, praktisi, dan pihak terkait perikanan karang untuk mengirimkan abstrak serta makalah yang mendukung kebijakan dan pengelolaan untuk perikanan karang di Indonesia dari tanggal 26 Oktober hingga 20 November 2015. Karya tulis ilmiah yang telah diseleksi nantinya akan menjadi landasan rekomendasi kebijakan dan pengelolaan untuk perikanan karang di Indonesia.

Perikanan karang merupakan sumber daya perikanan terbesar di Indonesia, baik dari jumlah produksi hasil tangkapan maupun nilai ekonominya. Jenis-jenis perikanan karang (reef fish) yang banyak dikenal masyarakat misalnya dari kelompok ikan karnivora seperti berbagai jenis kerapu (groupers), herbivora seperti ikan baronang (rabbit fish) dan kakatua (parrot fish), serta omnivora seperti ikan kakap (snappers). Sumber daya perikanan karang termasuk juga berbagai macam spesies atau biota yang berasosiasi langsung dengan terumbu karang dan ikan karang, yang membentuk ekosistem perikanan karang sebagai habitat paling penting di lingkungan perairan laut. Menurut beberapa peneliti, Indonesia merupakan pusat berbagai jenis ikan dunia. Allen dan Adrim (2003) menyatakan di Indonesia terdapat 2057 spesies ikan karang dari 113 famili. Ada 10 spesies utama sumber daya ikan karang Indonesia, yaitu Gobiidae atau jenis ikan Glodok sebanyak 272 spesies, Labridae atau sejenis Wrasses seperti ikan Napoleon dan Sapu-Sapu sebanyak 178 jenis, Pomacentridae atau ikan-ikan berwarna cerah seperti anemon dan betok laut 152 jenis, Apogonidae seperti Cardinal fish 114 jenis, Blenniidae atau biasa disebut ikan peniru 107 jenis, Serranidaeatau ikan kerapu 102 jenis, Muraenidae atau ikan muray 61 jenis,Syngnathidae atau Pipe fish seperti kuda laut 61 jenis, Chaetodontidaeatau sejenis Butterfly fish seperti kepe-kepe 59 jenis, dan Lutjanidae atau kelompok ikan kakap sebanyak 43 jenis.
 
Disamping memiliki nilai ekologis penting, perikanan karang juga telah menjadi penggerak perekonomian bagi 2 juta lebih nelayan di seluruh Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir,sekitar 1,3 juta ton lebih produksi ikan karang tertangkap di perairan indonesia (Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013). Nilai produki perikanan tangkap di laut Indonesia hampir 100 trilyun pada tahun 2013 (Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014). Akan tetapi pada satu dekade terakhir, terjadi kecenderungan penurunan produksi perikanan karang serta meluasnya dampak kerusakan habitat terumbu karang akibat penangkapan yang tidak terkendali. Kenaikan trend hasil penangkapan tidak linier dengan jumlah nelayan atau armada yang beroperasi. Nelayan melakukan penangkapan semakin jauh dari fishing base, jumlah dan ukuran ikan yang tertangkap cenderung menurun pada sebagian besar lokasi di indonesia.
 
Beberapa permasalahan penting yang dihadapi perikanan karang Indonesia antara lain penurunan stok di alam (depletion), penangkapan merusak dan melanggar hukum (illegal/destructive fishing), dan kerusakan habitat terumbu karang. Masalah lain yang cukup pelik adalah kemiskinan nelayan, pendataan produksi perikanan dan ekspor, masih tingginya hasil tangkapan sampingan atau HTS (bycacth) biota dilindungi dan terancam punah, konflik horizontal nelayan, penegakan hukum, kelembagaan pengelolaan dan regulasi, serta IUU fishing dari negara luar.
 
Usaha perbaikan perikanan di Indonesia, secara umum pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memiliki indikator-indikator pengelolaan perikanan yang tertuang dalam Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem atau Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM). Indikator-indikator tersebut dikelompokkan dalam 6 domain EAFM yaitu Sumber Daya Ikan, Teknik Penangkapan Ikan, Habitat, Sosial, Ekonomi, dan Kelembagaan. Konsep EAFM ini lahir dari Ecosystem Approach to Fisheries atau EAF (FAO, 2003) yang memberikan konsep menyeimbangkan tujuan sosial ekonomi dengan aspek ekosistem dalam pengelolaan perikanan. EAFM ini diharapkan menjadi rezim pengelolaan perikanan di Indonesia yang dapat memasukkan semua unsur dan kepentingan menjadi suatu pengelolaan perikanan terintegrasi secara ekologi, sosial, dan kelembagaan. EAFM juga menjadi salah satu tool penting dan utama dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) di Indonesia. EAFM dan RPP ini membutuhkan informasi dan data akurat, sehingga sangat dibutuhkan kajian ilmiah untuk melengkapi data perikanan di Indonesia.


Kontak person panitia:

A. Mustofa/WWF: HP 0812-2538-5560
Sri Wahyuningsih: Coremap HP 0812-1637-7390
Email panitia: reeffish.indonesia@gmail.com